Damai Nyepi
Satu
keistimewaan yang dimiliki oleh bangsa ini di masa lampau adalah kemampuannya
memilah-milah dan menyeleksi pengaruh budaya yang datang dari luar. Sekiranya
cocok dikembangkan atau sesuai dengan kondisi lokal akan diterima. Hal-hal yang
dipandang kurang pas dilepas. Kemampuan inilah disebut dengan istilah local
genious.
Suatu bentuk
pengaruh luar yang kemudian dimodifikasi sehingga dipandang pas untuk
dilaksanakan di Bali adalah pelaksanaan Hari
Raya Nyepi, yang merupakan bentuk pengaruh Hindu India untuk merayakan tahun
baru Saka. Masihkah kemampuan itu kita miliki saat ini ketika harus menghadapi
kekuatan-kekuatan budaya besar menyerang kita? Masih perlu cukup waktu untuk
membuktikannya.
Keistimewaan
yang dimiliki Hari Raya Nyepi adalah suasana keheningan, penghentian aktivitas
manusia dari kesehariannya seperti kegiatan berpergian, menyiapkan makanan,
hiburan pun aktivitas lain, yang sudah tentu menyebabkan hiruk-pikuk kehidupan.
Keheningan memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan kontemplasi,
melakukan pencarian Sang Diri di dalam
dirinya sendiri. Keheningan dan penghentian aktivitas keseharian menghendaki
manusia sehari saja dalam setahun untuk melakukan perenungan tentang hakikat
dan makna hidup, setelah selama 395 hari melakukan pencarian di luar dirinya.
Inilah yang secara ideal ingin diajarkan oleh Nyepi.
Manusia yang
hidup selalu akan melakukan pencarian, baik itu materi untuk kebutuhan hidup,
status sosial, dan sebagainya. Bila tak demikian, maka tak ada dinamika.
Manusia layaknya seonggok daging tanpa makna. Dunia memang menyediakan semua
itu, lebih-lebih saat ini, ketika kekuatan kapitalisme telah melanda semua
sendi kehidupan manusia. Tak satu sudut jua dari kehidupan ini yang tak mampu
di rambah kapitalisme, termasuk agama.
Lalu personalannya,
apakah dia harus dipandang sebagai momok yang menakutkan sehingga harus
dibasmi, sementara di sisi lain kita amat menikmati hidup yang telah
diberikannya. Mulai dari segala fasilitas rumah tangga, alat komunikasi, maupun
transportasi yang selalu memberikan rasa nyaman dam memanjakan. Dituntut
kemauan yang kuat untuk bisa melepaskan diri dari kendali kapitalisme ini,
karena di satu sisi dia memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam hidup ini
tetapi di sisi lain dia telah mencengkram sendi yang paling kokoh dalam
kehidupan bangsa ini, yaitu agama. Ajaran-ajaran kemuliaan yang diajarkan kitab
suci telah diubah olehnya menjadi agama pasar. Agama yang telah dikendalikan
oleh keinginan pasar. Mall telah menjadi tempat suci bertemunya hasrat dan
keinginan manusia, manusia tidak lagi hanya membeli apa yang dibutuhkan tetapi
apa yang dinginkan. Semuanya dikendalikan oleh capital dengan membentuk citra
lewat media.
Demikian pula
dengan pelaksanaan nyepi. Swalayan mulai dikunjungi masyarakat menjelang Nyepi.
Segala keinginan dalam menyambut Nyepi telah tersedia di situ. Menyambut Nyepi
bak menyiapkan pesta, karena persepsi tentang Nyepi mengarah pada perayaan
Tahun Baru layaknya agama-agama abrahamik (maaf bagi umat abrahamik).
Perubahan
memang suatu keniscayaan, suka maupun tidak, disadari maupun tidak, semua
memang harus berubah. Nyepi yang semestinya bermakna keheningan, telah berubah
menjadi pesta perayaan. Segala bahan makanan disiapkan untuk memanjakan hasrat,
kamar-kamar hotel telah dipesan untuk bisa menikmati hidup, lepas dari
rutinitas keseharian. Maka, semakin banyak mereka yang merayakan Nyepi di
hotel-hotel, bungalow-bungalow. Paket-paket tour dengan kemasn wisata spiritual
di hari Nyepi mulai tumbuh. Life style, begitu kata
mereka yang membaca situasi ini secara akademik. Di balik semua itu memang ada
kapital yang bermain.
Dalam
masyarakat yang terus berkembang akan selalu terjadi tarik-menarik antara
hal-hal bersifat rasional progersif dengan tradisional konservatif.
Pada masyarakat yang sangat rasional, segala sesuatu yang berbau tradisional
akan selalu dipandang sebagai penghambat kemajuan. Sementara pada masyarakat
yang berpegang teguh pada tradisi memandang perubahan sebagai sesuatu yang
mencemaskan. Tegangan antara keduanya telah menimbulkan dinamika dalam
kehidupan manusia. Inilah hidup. Dan kehidupan itu selalu ada dinamika.
Lalu dimana
letak pentingnya Nyepi hening itu? Di tengah-tengah dinamika yang terjadi dalam
kehidupan manusia, kenapa tidak sehari pun dimanfaatkan untuk mengentikan
segala aktifitas itu? Harus diupahami bahwa semua yang bergerak memerlukan juga
waktu jeda. Ibarat harddisk laptop saya yang juga memerlukan waktu untuk diam.
Hardisk tak bisa selamanya bergerak. Segala sesuatu yang terus bergerak apalagi
bergerak kearah yang ekstrim akan menuju pada kematiannya. Manusia dan semesta
ini juga membutuhkan saat untuk jeda. Saat untuk melakukan kontemplasi, waktu
mengerem kembali hasrat yang telah bergerak kea rah yang ekstrim. Arah yang
mulai meninggalkan hakikat kemanusiaannya karena dibelenggu oleh hasrat. Secara
simbolik penghentian hasrat itulah Nyepi. Tak cukup hanya sehari, penghentian
terhadap gerakan hasrat semestinya dilakukan setiap saat manakala hasrat telah
melampaui hakikat kemanusiaannya.
Semoga nyepi
kali ini menjadi saat untuk mengendalikan hasrat yang mulai bergerak ke arah
ekstrim.
Anggara, 4/3/08, saka warsa 1929 Kawit Yowana (a6)
“Rahajeng Nyepi
Saka Warsa 1930”