Translate

Minggu, 12 April 2015

Bahan Renungan

Damai Nyepi

Satu keistimewaan yang dimiliki oleh bangsa ini di masa lampau adalah kemampuannya memilah-milah dan menyeleksi pengaruh budaya yang datang dari luar. Sekiranya cocok dikembangkan atau sesuai dengan kondisi lokal akan diterima. Hal-hal yang dipandang kurang pas dilepas. Kemampuan inilah disebut dengan istilah local genious.

Suatu bentuk pengaruh luar yang kemudian dimodifikasi sehingga dipandang pas untuk dilaksanakan di Bali adalah pelaksanaan Hari Raya Nyepi, yang merupakan bentuk pengaruh Hindu India untuk merayakan tahun baru Saka. Masihkah kemampuan itu kita miliki saat ini ketika harus menghadapi kekuatan-kekuatan budaya besar menyerang kita? Masih perlu cukup waktu untuk membuktikannya.
Keistimewaan yang dimiliki Hari Raya Nyepi adalah suasana keheningan, penghentian aktivitas manusia dari kesehariannya seperti kegiatan berpergian, menyiapkan makanan, hiburan pun aktivitas lain, yang sudah tentu menyebabkan hiruk-pikuk kehidupan. Keheningan memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan kontemplasi, melakukan pencarian Sang Diri di dalam dirinya sendiri. Keheningan dan penghentian aktivitas keseharian menghendaki manusia sehari saja dalam setahun untuk melakukan perenungan tentang hakikat dan makna hidup, setelah selama 395 hari melakukan pencarian di luar dirinya. Inilah yang secara ideal ingin diajarkan oleh Nyepi.
Manusia yang hidup selalu akan melakukan pencarian, baik itu materi untuk kebutuhan hidup, status sosial, dan sebagainya. Bila tak demikian, maka tak ada dinamika. Manusia layaknya seonggok daging tanpa makna. Dunia memang menyediakan semua itu, lebih-lebih saat ini, ketika kekuatan kapitalisme telah melanda semua sendi kehidupan manusia. Tak satu sudut jua dari kehidupan ini yang tak mampu di rambah kapitalisme, termasuk agama.
Lalu personalannya, apakah dia harus dipandang sebagai momok yang menakutkan sehingga harus dibasmi, sementara di sisi lain kita amat menikmati hidup yang telah diberikannya. Mulai dari segala fasilitas rumah tangga, alat komunikasi, maupun transportasi yang selalu memberikan rasa nyaman dam memanjakan. Dituntut kemauan yang kuat untuk bisa melepaskan diri dari kendali kapitalisme ini, karena di satu sisi dia memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam hidup ini tetapi di sisi lain dia telah mencengkram sendi yang paling kokoh dalam kehidupan bangsa ini, yaitu agama. Ajaran-ajaran kemuliaan yang diajarkan kitab suci telah diubah olehnya menjadi agama pasar. Agama yang telah dikendalikan oleh keinginan pasar. Mall telah menjadi tempat suci bertemunya hasrat dan keinginan manusia, manusia tidak lagi hanya membeli apa yang dibutuhkan tetapi apa yang dinginkan. Semuanya dikendalikan oleh capital dengan membentuk citra lewat media.
Demikian pula dengan pelaksanaan nyepi. Swalayan mulai dikunjungi masyarakat menjelang Nyepi. Segala keinginan dalam menyambut Nyepi telah tersedia di situ. Menyambut Nyepi bak menyiapkan pesta, karena persepsi tentang Nyepi mengarah pada perayaan Tahun Baru layaknya agama-agama abrahamik (maaf bagi umat abrahamik).
Perubahan memang suatu keniscayaan, suka maupun tidak, disadari maupun tidak, semua memang harus berubah. Nyepi yang semestinya bermakna keheningan, telah berubah menjadi pesta perayaan. Segala bahan makanan disiapkan untuk memanjakan hasrat, kamar-kamar hotel telah dipesan untuk bisa menikmati hidup, lepas dari rutinitas keseharian. Maka, semakin banyak mereka yang merayakan Nyepi di hotel-hotel, bungalow-bungalow. Paket-paket tour dengan kemasn wisata spiritual di hari Nyepi mulai tumbuh. Life style, begitu kata mereka yang membaca situasi ini secara akademik. Di balik semua itu memang ada kapital yang bermain.
Dalam masyarakat yang terus berkembang akan selalu terjadi tarik-menarik antara hal-hal bersifat rasional progersif dengan tradisional konservatif. Pada masyarakat yang sangat rasional, segala sesuatu yang berbau tradisional akan selalu dipandang sebagai penghambat kemajuan. Sementara pada masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi memandang perubahan sebagai sesuatu yang mencemaskan. Tegangan antara keduanya telah menimbulkan dinamika dalam kehidupan manusia. Inilah hidup. Dan kehidupan itu selalu ada dinamika.
Lalu dimana letak pentingnya Nyepi hening itu? Di tengah-tengah dinamika yang terjadi dalam kehidupan manusia, kenapa tidak sehari pun dimanfaatkan untuk mengentikan segala aktifitas itu? Harus diupahami bahwa semua yang bergerak memerlukan juga waktu jeda. Ibarat harddisk laptop saya yang juga memerlukan waktu untuk diam. Hardisk tak bisa selamanya bergerak. Segala sesuatu yang terus bergerak apalagi bergerak kearah yang ekstrim akan menuju pada kematiannya. Manusia dan semesta ini juga membutuhkan saat untuk jeda. Saat untuk melakukan kontemplasi, waktu mengerem kembali hasrat yang telah bergerak kea rah yang ekstrim. Arah yang mulai meninggalkan hakikat kemanusiaannya karena dibelenggu oleh hasrat. Secara simbolik penghentian hasrat itulah Nyepi. Tak cukup hanya sehari, penghentian terhadap gerakan hasrat semestinya dilakukan setiap saat manakala hasrat telah melampaui hakikat kemanusiaannya.
Semoga nyepi kali ini menjadi saat untuk mengendalikan hasrat yang mulai bergerak ke arah ekstrim.
Anggara, 4/3/08, saka warsa 1929 Kawit Yowana (a6)

“Rahajeng Nyepi Saka Warsa 1930”