Translate

Senin, 12 September 2011

PENJELASAN TAMBAHAN SAPTA MRETHA=SAPTA TIRTHA

Ucap Sulayang Geni : ”  Titanen kunang Sanghyang Bhatara Genijaya paramartha, maninggalaken guna wisesa ring putranira kalima, helem ring Bukit Bisbis, kaginelar sampun andaning gunaning wwang ri kadlahan, ring jurang wetan mulaning tirtha wwe kumerincing tattwanira purwa de Bhatara Pacupati, ika sinirat-sirat sakeng agra, dulur tirtha hima,saha sega-sega saka buatan ring bhuta hita, ring kala diwa, minantran dening : Gangga mretha, Gatta mretha, Soma mretha, Teja mretha, Irannya mretha, Jnyana mretha, Hawa mretha, genep Sapta mretha mahoma tirtha. 

Arti bebasnya : Diceriterakan kemudian tentang kesucian/adnyanan Ida Bhatara Genijaya, bahwa beliau telah memberikan guna-wisesa (keahlian) kepada kelima putranya itu, lalu beliau menetap di puncak Gunung Bisbis. Beliau dipandang sebagai pemberi bibit keahlian/keterampilan yang pertama kepada masyarakat sampai dengan dikemudian hari. Di jurang bagian timur pertama kali adanya tirtha dari air yang merintik-gemercikan itu, konon asal mulanya dari ciptaan Ida Bhatara Pacupati. Tirtha itulah dipercikan dari puncak bersama dengan tirtha hima (tirtha pingit) serta upakara bebantenan seperlunya untuk keselamatan makhluk hidup.

Pada waktu hari baik (rerahinan), lanjut dipercikan sampai ke dasar guna pengairan sawah ladang dibarengi dengan mantra doa/puja :
1. Gangga mretha        = Tirtha Jaga Satru;
2. Gatta mretha            = Tirtha Sudamala/Sudhapetaka;
3. Soma mretha           = Tirtha Manik Bulan;
4. Teja mretha             = Tirtha Kamandhalu;
5. Irannya mretha        = Tirtha Manik Ambengan (Danu Sawang);
6. Jnyana mretha         = Tirtha Seliwah (Cunia mretha);
7. Hawa mretha           = Tirtha Pingit (Tirtha Hima) di Puncak Lempuyang Luhur.

Genap sapta mretha berkumpul (mecampuh) menjadi Sapta Tirtha.

Kidung warga-sari :
Turun tirtha saking luhur,
Tirthan panca Dewatane,
Brahma Tirtha Kamandhalu,
Hyang Icwara Sanjiwani,
Mahadewa Kundalini,
Hyang Wisnu Tirtha Pawitra,
Hyang Ciwa pamuput,
Amertha kinardi.-

Kidung warga-sari ini digunakan untuk mendak turunnya Ida Bhatara Tirtha yang akan dipercikkan/ kesiratang kepada para pemedek sehabis muspa.

Penjelasan :

  1. Tirtha Kamandhalu, adalah ciptaan Ida Bhatara Brahma yang mempunyai khasiat kesucian untuk membangkitkan gerak kreatifitas agar kita menjadi manusia yang kreatif.
  2. Tirtha Sanjiwani, adalah ciptaan Ida Bhatara Icwara yang mempunyai khasiat kesucian untuk membangkitkan rasa kedamaian/ketenangan, sehingga terdapat kerukunan dalam keluarga maupun kerukunan pada lingkungannya masing-masing.
  3. Tirtha kundalini, adalah ciptaan Ida Bhatara Mahadewa yang mempunyai khasiat kesucian untuk membangkitkan rasa seni/rasa aestetika (kama) dan kenikmatan/kebahagiaan hidup.
  4. Tirtha Pawitra, adalah ciptaan Ida Bhatara Wisnu yang mempunyai khasiat kesucian yang membangkitkan jiwa keperwiraan guna membela dan melindingi kebenaran dan keadilan menjaga keseimbangan hidup sekala nickala. ”Satyam ewa jayate !
  5. Tirtha Amretha, adalah ciptaan Ida Bhatara Ciwa yang mempunyai khasiat kesucian yang dapat membangkitkan rasa percaya diri, bahwa apabila kita tetap berlindung kepada dharma, pasti kita akan dikaruniai panjang umur dan hidup bahagia.
Kesimpulan :

  1. Pura Lempuyang Luhur ibarat kepala-murda (puncak), berkedudukan sebagai Purusa dan pada Karya Agung Ngenteg Linggih tanggal 21 April 1989 dihadiri oleh Bapak Gubernur Kepala Daerah Tk I Bali, Prof.Dr. Ida Bagus Oka.
  2. Pura Silawana Hyang Sari (Penataran Agung Lempuyang) berkedudukan sebagai Madya-Pusat, merupakan Angga atau Badan yang menopang kepala dan pada waktu upacara peresmian bangunan Banpres tanggal 7 Oktober 1989 dihadiri oleh Bapak Gubernur Kepala Daerah Tk I Bali, Prof.Dr. Ida Bagus Oka serta menandatangani batu prasasti yang bertahun Caka : ”  Surya Candra Sanganginder Bhuwana ! 
  3. Pura Dalem Dasar di Batugunung, ibarat kaki (kakinya gunung) berkedudukan sebagai Predana, merupakan pintu gerbang masuk apabila akan memedek ke Pura Sad Kahyangan Lempuyang. Pada Karya Ngenteg Linggih Medudus Agung tanggal 22 Oktober 1983, dihadiri oleh Bapak Gubernur Kepala daerah Tk I Bali, Prof.DR. Ida Bagus Mantra, serta menandatangani batu prasasti yang bertahun Caka : ” Panca Cunia Gapuraning Wwong ! 
Pujastuti sapta wredhi (Doa permohonan) :
Om Ayu wredha yaca wredhi,
Wredhi pradnya suka Criyam,
Dharma Santana wredhisca,
Santute sapta wredhayah.

Om  -  Om  -  Om     = Ya, Tuhan/Sanghyang Parama Kawi.

1. Ayu wredhi    = Semoga orang yang berbuat baik berkembang terus.

2. Yaca wredhi              = Semoga orang-orang yang berjasa berkembang terus.

3. Pradnya wredhi         = Semoga ilmu pengetahuan/kepandaian berkembang terus.

4. Suka-Cryam-wredhi  = Semoga rasa keindahan/kebahagiaan tumbuh berkembang.

5. Dharma wredhi          = Semoga rasa Agama/keimanan, kebenaran/keadilan berkembang tumbuh bersemi.

6. Santana wredhi          = Semoga keturunan yang utama (suputra) berkembang biak.

7. Santosa wredhi          = Semoga keamanan/kesentosaan berkembang dan terpelihara baik.

Sapta wredhayah           = Semoga ketujuh pasal diatas, selamat berkembang maju.

Demikian Petunjuk Khusus ini kami buat dengan ketulusan hati, semoga ada manfaatnya dan dapat membantu seperlunya.




                                                      Batugunung, 10 Agustus 1991

                                                      Om Ksama Swamam Mahadewa,


                                                      ( KI TUNJUNG TUTUR )


PURA LEMPUYANG LUHUR (PUNCAK BISBIS)



Pura ini diempon oleh desa Purwayu bersama dengan dusun Jumenang, kedesaan Bukit, Kecamatan dan Kabupaten Karangasem. Pucak Bisbis atau Pucak Gunung Kembar sekarang disebut Lempuyang Luhur dan ciri khas pura disini terdapat tirtha pingit di dalam pohon bambu yang disebut dengan bambu-pring asoca kembar, yang maksudnya bahwa orang akan mendapatkan tirtha dari dalam bambu. Kalau ingin mendapatan tirtha di dalam bambu sesungguhnya agak sukar didapat,disamping harus menggunakan sarana banten dan sijin pemangku setempat juga bagi si pemohon harus  didasari dengan kesucian hati serta jnana dan yadnya yang tulus. Oleh karena itu tirtha tersebut dinamakan tirtha-pingit (atas penuturan Jro Mangku Tunjung alm). Menurut ucap Sulayang Geni, tirtha pingit ini dinamai tirtha-hima-hawa-mretha, tirthan Ida Bhatara Ciwa.

Lebih lanjut kami terangkan, bahwa pada tahun 1960 di Lempuyang Luhur dibangun Pelinggih Sanggar Agung Penunggal dan Sanggar Agung Kembar yang terbuat dari pada batu merah. Kemudian bangunan tersebut direhab serta dipindahkan ke arah timur, memakai bahan batu putih yang didatangkan dari komplek Pura Luhur Uluwatu-Denpasar.

Berkenaan dengan adanya pelinggih baru tersebut, maka pada tanggal 16 April 1989 diselenggarakan upacara pemelaspasannya dan pada tanggal 21 April 1989 diselenggarakan Karya Agung Ngenteg Linggih, serta pada upacara tersebut dihadiri oleh Bapak Gubernur Kepala Daerah Tk. I Bali, Prof.Dr. Ida Bagus Oka. Sehubungan dengan itu, maka Pura Purwayu dijadikan Pura Penataran Agung Lempuyang di Purwayu, yaitu tempat untuk melaksanakan suatu kegiatan mengatur segala upakara yadnya yang akan dipergunakan di Pura Lempuyang Luhur.
Sebenarnya pura ini sudah mengalami banyak perubahan,  secara fisik wujud pura lebih baik, halaman pura lebih luas, namun taksu pura mengalami sedikit penurunan. Secara kasat mata dapat dilihat dengan bertebarannya warung-warung kecil disepanjang jalan dan halaman pura membuat panorama sekitarnya ternoda. Alangkah indahnya kalau pembangunan fisik lingkungan pura tidak sampai melupakan unsur kebersihan, pelesatrian lingkungan dan kesucian kawasan pada pura yang kita junjung tinggi.

PURA TIRTHA MANIK BULAN



Tirtha Manik Bulan disebut Tirtha Sasih (menurut Usana Bali) dan Soma-mreta (menurut Sulayang Geni). Pada halaman pura ini terdapat pohon kelapa yang tingginya sudah lebih dari 20 m. Menurut keterangan Jro Mangku Tunjung (alm), bahwa tumbuhnya kelapa ini adalah dari upakara pependeman waktu ngenteg linggih tahun 1918. Sayangnya pohon kelapa yang dimaksud saat ini sudah tidak ada lagi, tinggal kenangan. Tirtha Sasih ini jika ditinjau dari filosofis Agama Hindu dikatakan Tirtha Kundalini, menurut penjelasan dari mantan P.H.D.I. Pusat Ida Pedanda Gede Wayan Sidemen (alm). Untuk mendapatkan sumber tirta manik bulan ini dari halaman pura agak menurun ke arah timur, medannya cukup berat, namun kalau ada niat pasti dapat dicapai. Sumber airnya jernih dan sejuk, cocok dijadikan sarana melukat. Kawasannya masih asri dan lestari, kondisi tanahnya lembat walaupun musim kering, itu artinya di kawasan ini banyak terdapat resapan air.

Konon perjalanan Ida Bhatara Danghyang Brahma mendaki puncak Bisbis melalui tempat ini. Pada saat beliau tiba ditempat ini yang selanjutnya dibangun Kahyangan bernama Pura Manik Bulan. Di tempat ini beliau meninggalkan busana kawikonnya serta membuang peralatan Ciwa-krana (pewedaan) dengan bajranya. Bajra tersebut kini dikeramatkan dijadikan arca prelingga, linggan Ida Bhatara Bajra Ciwa, disimpan di Pura Pesimpenan Agung Lempuyang di Gunungsari. Setelah beliau meninggalkan busana, maka beliau melanjutkan perjalanan kepuncak Bisbis. Kata bisbis berarti penghabisan yang terakhir (moksa). Ida Dahyang Brahma benar-benar telah meninggalkan keduniawian (nisbhawa sada). Sejak itu beliau berganti nama, lalu bernama Danghyang Genijaya. Manik bulan simbul dari intisari kelembutan dan cinta kasih, terbebas dari pengaruh duniawi dan material. Ketika manusia sudah mampu memperkecil dan bahkan menghilangkan kemelekatan dengan dunia materi maka mulai saat itu pikiran manuisa sudah terbebas dari sifat dualitas.

PURA TIRTHA KAMANDHALU


Di sisi samping pura ini tumbuh pohon cempaka emping, bunganya kecil-kecil berwarna putih, pohonnya besar dan umurnya sudah lebih dari satu abad, sayang pohon cempaka yang dimaksud sat ini sudah tidak ada, karena sudah mati dimakan usia. Konon tirtha Kamandhalu adalah ciptaan Bhatara Brahma yang mempunyai khasiat  untuk membangkitkan tenaga kreatif dan dapat pula menciptakan hal-hal gaib, hal-hal yang belum nyata , bisa terwujud menjadi nyata. Hal ini tentunya tidak semata-mata karena mukjizat tirthanya saja, yang paling utama adalah menyelaraskan antara kesusian buana alit dan buana agung. Ibaratkan sumber air dan selangnya, kalau sumber air adalah ciptaan Tuhan dan selangnya adalah manusia itu sendiri. Sejernih apapun sumber airnya tetapi kalau selangnya kotor akan mengakibatkan air yang mengalir keluar pasti kotor. Kemurnian sejati hati dan prilaku manusia dapat ditingkatkan terus. Dengan cara menerapkan konsep prilaku Trikaya Parisudha, agar yang dipikirkan yang dikatakan dan yang dilaksanakan selalu  hal-hal yang baik, akan dapat membuahkan kebajikan dan keharmonisan pikiran. Tidak ada lagi pertentangan antara pikiran dengan suara hati, karena suara hati sesungguhnya merupakan sinyal-sinyal kebajikan yang ada dalam diri setiap manusia.Tirtha Kamandhalu disebut Teja-mretha dalam lontar Sulayang Geni.
Tirta kamandalu, kamandalu bermakna keinginan duniawi, terselubung awan gelap yang menjauhkan kita dari kebenaran. Oleh karena itu sucikanlah pikiran kita dari napsu duniawi.....ketika selubung maya mulai terkuak maka sinar cemerlang Tuhan akan mulai nampak. Selama pikiran bebas berkelanan dengan tidak terkendali, maka kehidupan manusia akan tidak pernah tenang, mencari...mencari dan terus akan mencari dan tidak akan pernah bertemu dengan yang dicari. Sebab yang akan dicari ada dalam diri kita.....oleh karena itu renungkanlah !

PURA PASAR AGUNG TENGAH



Pura Pasar Agung ini dikatakan juga Pura Pengubengan yang maksudnya apabila keadaan cuaca sangat buruk (kabut, hujan-angin), maka upacara persembahyangan boleh dilaksanakan dari tempat ini, ngacap Ida Bhatara di Lempuyang Luhur. Pura Pasar Agung adalah Linggih Ida Bhatari Giri Putri bersama Dewi Melanting, merupakan Dewi Kemakmuran yang mengatur kelancaran ekonomi dan kestabilan harga pasar secara niskala. Apabila orang akan membuat pasar yang baru, sebaiknya nuntun linggih ke Pura Pasar Agung, mohon restu untuk keselamatan pasar. 
Makna pasar agung adalah pasar raya/besar, di tempat ini tersedia berbagai macam kebutuhan untuk kelangsungan hidup kita. Di pasar pasti ada penjual dan pembeli, kalau sudah terjadi kesepakatan harga maka jual beli akan berlangsung. Demikian pula pasar agung secara niskala, di dalam menjalani kehidupan ini kita sering terjebak dengan keinginan sesaat, dan biasanya penyesalan itu selalu datangnya terlambat.
Kita sering bingung memahami tujuan hidup kita yang sesungguhnya, apa yang kita cari, apa yang kita butuhkan, untuk apa kita hidup ke dunia, selalu saja berkecampuk dalam pikiran kita. Jangankan memikirkan masa depan kita yang panjang, yang akan terjadi sedetik kemudianpun kita tidak pernah tahu, itulah kebesaran Tuhan. Seperti suasana pasar, dalam perjalanan hidup kita selalu ada transaksi, tawar menawar, tarik menarik dan kesepakatan-kesepakatan. Asal kita bijaksana dan sabar dalam mengambil keputusan, biasanya apapun yang menjadi pilihan kita pasti yang terbaik. Karena kita tidak mungkin dapat memilih hanya yang baik-baik saja, Kalau semua yang baik menjadi pilihan kita lantas yang jelek dan buruk mau dikasi siapa? Sesungguhnya sangat bijaksana kalau kita mengambil yang kurang bagus tetapi kita dapat membuat menjadi bagus. Bukankah tak seorangpun bisa membuat diri kita bahagia kecuali diri kita sendiri, karena kita adalah raja atas diri kita.
Begitu juga makna pasar agung, banyak karakter, sifat, prilaku, yang kita dapatkan di sana, maka bijaksanalah dalam memilih. Setelah dipilih apapun hasilnya, tidak lagi menyalahkan orang lain, kecuali diri kita sendiri, karena itu sudah menjadi pilihan kita. Salah satu tujuan hidup kita adalah memilih dan dipilih.

PURA BATU PENYANGCANGAN

Pada halaman pura ini ada batu besar yang konon menancap terus tembus sampai ke sapta-petala/disebut paner jagat. Karena itu pura ini disebut Pura Astitina – Sapta Petala, maka kancinging Bali Bangsul. Jadi orang-orang yang lewat di pura ini, diharuskan agar sembahyang dulu untuk mohon kekuatan batin maupun jasmani, mohon penyangcangan urip. ”  Eka catreng sarira, nguripi, nguripi sahananing bhur bhuwah swah prakirna. 

Artinya : Satu-satunya payung untuk melindungi badan kasar dan badan halus pada Tri-Loka yang cermelang. Ada bisikan dari para rokhaniwan, agar di pura ini dibangun balai payung = bale mundar-mandir 2 buah yang berkembaran. Kalau boleh diartikan dari makna kata penyangcangan artinya, pengikat. Lalu apa yang diikat pikiran oleh siapa...tentunya panca indria, mengakibatkan ada enam sifat negatip yang disebut sadripu menguasai sifat manusia. Kenapa manusia terikat oleh badan fisik karena fisik manusia terdiri dari pancamahabutha, lima unsur badan fisik.  Cenderung manusia lebih sibuk mengejar kepuasan duniawi dari pada rohani, padahal semua orang tahu kalau manusia ketika meninggal tidak satupun benda materi yang akan di bawa, semua ditinggalkan di dunia.

PURA TIRTHA EMPUL (SUDHA PATAKA)


Letak Tirtha Empul tidak jauh dari Tirtha Sudhamala, arah utaranya. Fungsi dari pada tirtha ini adalah untuk membersihkan segala cacat cela, baik cacat rokhani/mental maupun cacat jasmani. Tirtha ini keluar dari lubang batu besar yang terletak pada jurang yang curam. Ucap Sulayang Geni :

  Lemekas mesamadhi pwa sira, pada angaji wwe salukat ring parswaninggunung watu, ri samipaning Bisbis trebis, lata terjung trebisnya minantraning de Gangga Mertha, maka pamunah tumpur mrana bancana. 

Arti bebasnya : kemudian melakukan yoga-samadhi, kemudian sama-sama menciptakan tirtha pelukatan yang keluar dari tengah-tengah lubang batu yang terletak pada jurang puncak Bisbis. Segala macam tetumbuhan pada jurang tersebut diberi mantra Ganggastawa, berkhasiat dapat menghilangkan segala penyakit ingatan, gering wabah bencana alam. Tirtha Empul disebut pula Tirtha Sudha Pataka, pesucian Ida Bhatara-Bhatari di Pura Pasar Agung Tengah (jalur Gunung Sari).


PURA TIRTHA SUDAMALA



 
Tirtha Sudhamala adalah pesucian Ida Bhatara di Pura Batu Penyangcangan. Fungsi dari pada tirtha ini ialah untuk pembersihan segala mala (kotoran) yang mengancam ketenangan didalam mengarungi hidup/kehidupan di maya pada ini. Demikian pula bagi para Sulinggih yang mengalami kesepungan ujar hala atau merasa melanggar ketentuan Cecana, sebaiknya di pura ini melaksanakan tirtha-yatra, pensucian diri.

Demikian pula segala upakara yang akan dipersembahkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi, Dewa/Bhuta maupun terhadap Pitara, sebaiknya diwisudha dulu atau dilukat dengan tirtha sudhamala.

PURA WINDHU SARI ( KADONGAN BUNTER )

Pura Windhu Sari terletak tidak jauh dari Pura Silawana Hyang Sari jaraknya kurang lebih 200 m. Areal pura ini terdiri dari 3 pelataran, yaitu :
-        Pelataran di atas terdapat sebuah bangunan Sanggar Agung.
-        Pelataran di tengah terdapat bangunan Panca-Resi dan Ngerurah Agung.
-        Pelataran di bawah terdapat bangunan Padma-Sari Ider Bhuana berbentuk Lingga-Yoni melingkar bundar pada 8 penjuru arah mata angin, yang merupakan pelinggih dari Asta-Dewata dan tiga buah lagi yang di tengah merupakan lingga dari Tri Purusa : Ciwa, Sadha Ciwa, Parama Ciwa.

Ider- bhuwana :
- Di timur                 =    Dewa Icwara bersenjatakan bajra, dilambangkan dengan warna serba putih dengan wijaksara SA (       ), singkatan dari nada simbolis Sadyojata.

- Di selatan               =    Dewa Brahma bersenjatakan gada, dilambangkan dengan warna serba merah dengan wijaksara BA (       ), singkatan dari nada simbolis Bamadewa.

- Di barat                  =    Dewa Mahadewa bersenjatakan nagapasa, dilambangkan dengan warna serba kuning dengan wijaksara TA (       ), singkatan dari nada simbolis Tat-Purusa.

- Di utara                  =    Dewa Wisnu bersenjatakan cakra, dilambangkan dengan warna serba hitam dengan wijaksara A (       ), singkatan dari nada simbolis Aghora.

- Di tengah (bawah) =    Dewa Ciwa bersenjatakan padma (tunjung) dilambangkan dengan warna serba panca warna (brumbun) dengan wijaksara I  (       ), singkatan dari simbolis Icana.

- Di tenggara            =    Dewa mahesora bersenjatakan dupa-pasepan, dilambangkan dengan warna serba dadu dengan wijaksara NA (       ).

- Di barat daya         =    Dewa Rudra bersenjatakan mosala, dilambangkan dengan warna serba jingga dengan wijaksara MA (       ).

- Di barat laut           =    Dewa Sangkara bersenjatakan angkus (tombak), dilambangkan dengan warna serba hijau dengan wijaksara CI (       ).

- Di timur laut          =    Dewa Cambu bersenjatakan trisula, dilambangkan dengan warna serba biru dengan wijaksara WA (       ).

- Di tengah atas        =    Dewa Sadha Ciwa bersenjatakan dwaja, dilambangkan dengan warna serba putih dengan wijaksara YA (       ).

Kesepuluh wijaksara ini dinamai dasaksara, dengan urutannya sebagai berikut :

SA  (       ),   BA  (       ),   TA  (       ),   A  (       ),   I  (       )

Kelima wijaksara ini disebut Pancaksara.

NA (       ),   MA  (       ),   CI  (       ),   WA  (       ),   YA  (       )


Wijaksara ini disebut Pancagni.   
 Padmasari ider bhuana ini di bangun pada tahun 1978, atas prakarsa Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja, Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat dan dipelaspas oleh Ida Pedanda Gede Wayan Teges dari geria Rendang-Kelor Subagan-Karangasem, pada hari Kamis Umanis wara Sinta, Purnama ka I (kasa) Icaka : 1900, tanggal 20 Juli 1978.

Latar belakang dari dibangunnya padmasari ider bhuana ini adalah pituduh (pekarsan) Ida Bhatara Empu Kuturan melalui pesucian jnyana-yoganya Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja. Setelah selesai bangunan padmasari ider bhuwana tersebut langsung dengan dipelaspasannya (pensuciannya) yang berbentuk Lingga-Yoni. Selanjutnya setelah itu, baru diselenggarakan Karya Agung Ekadasa Rudra di Besakih pada akhir tahun Caka 1900, sekitar bulan Maret 1979.

Perlu kami jelas disini, bahwa Pura Silawana Hyang Sari dan Pura Windhu Sari ini, sangat erat kaitannya dengan Pura Silayukti di Padangbai.

Ucap Pustaka Sulayang Geni : ” Kadi sodama tejaning Hyangsana ring witing kapu-kapusuksma matra. Antasana ring Padang Silayukti, anerus ring Bhujangga Dewa Giri, tumampaking haris ring Gelgel. Enjing-enjing sadyanira ring Basukih, irika ngadegaken pangaskaran presama, lumekas mangalih Bhujangga Dewa Giri, mintonaken diksa puja ring gunung Bujangga Dewa Lempuyang purwaka. Lungang dewasa, praptang masa Wesaka kala Candra Umanis Tolu, sira Sanghyang Genijaya Aiswarya Raja-Rsi, Kasamrat ring Bali Bangsul. ”

Arti bebasnya : Sebagai menyatu tejan Ida Hyang Hangsana (Danghyang Brahma) dengan tumbuhan kapu-kapu yang absrak aneh itu. Lalu tiba di Padang Silayukti, terus sampai di Bujangga Dewa Giri (di Munduk Gunungsari), lalu meneruskan perjalanan ke Gelgel. Kemudian tujuan beliau di Besakih, disana mengadakan upacara Agama bersama, kemudian berpindah tempat menuju ke Munduk Gunungsari, mohon dan melaksanakan diksa-puja di gunung Bhujangga Dewa kawasan Lempuyang. Dikemudian hari datang sasih ka 10 (kedasa) pada hari Soma Umanis wara Tolu, Ida Bhatara Genijaya dilantik Raja-Rsi sebagai Pemimpin Jagat Bali.

  Om Ano bhadrah kretawo yantu wicwatah  ” =
Ya Tuhan semoga segala pikiran yang baik (suci) datang dari segala penjuru. Di pura ini kiranya baik sekali (tenang) untuk melaksanakan yoga samadhi mengkonsentrasikan pikiran/jnyana agar tercapai roro-roroning atunggal.

PURA SILAWANA HYANG SARI

Penataran Agung Lempuyang

Menurut Babad Prewangsa, bahwa pura ini adalah bekas Pasraman Ida Danghyang Brahma, setelah beliau membangun Pasraman di Silayukti (Padang).

Ida Danghyang Brahma ngeredana putra dari pancadnyanan beliau 5 orang, yaitu :

1.     Sang Brahmana Pandhita (Empu Genijaya), yang selanjutnya beliau berasrama di Lempuyang Madya Gamongan.

2.     Empu Semeru, yang selanjutnya beliau berasrama di Besakih.

3.     Empu Gana, yang selanjutnya beliau berasrama di Gelgel.

4.     Empu Kuturan (Raja-Rai) yang selanjutnya beliau berasrama di Silayukti (Padang).

5.     Empu Bharadah yang selanjutnya beliau berasrama di Lemahtulis – Pejarakan (Jawa Timur).

Kelima putra beliau ini dinyatakan wiku sangkan rare, karena itu beliau digelari Panca Tirtha.

Pelinggih pokok di pura ini, adalah :

1.     Sanggar Agung Penunggal, stanan Ida Danghyang Brahma (Bhatara Hyang Genijaya) karena baliau sudah meraga Nur-Cahaya (Sinar suci)

   2.Sanggar Agung Kembar, stanan Dewa Icwara Ardha-Nareswari, lingga  Cetana-Acetana, Purusa-Predana, Positif-Negatif, Surya-Candra – Ruwa bineda.

3.     Pancaresi, yaitu sebuah bangunan bertiang 5 buah beratap ijuk, stanan Ida Bhatara Panca Tirtha, yaitu kelima putra dari Danghyang Brahma.

Pujawali/odalan di pura ini jatuh pada Hari Budha Kliwon Pahang (sama dengan Odalan Ida Bhatara di Silayukti) dengan upakara yang tidak boleh dilupakan yaitu : Sesayut Panca-Lingga untuk banten munggah pada pelinggih pancarsi sebagai tapakan Ida Bhatara-Panca Tirtha.

Lebih jauh kami terangkan disini, bahwa pura ini sudah tiga kali dipugar dan dikembangkan, yaitu :

Pemugaran I :
Pura ini dipugar pada tahun 1912, lalu digoncang oleh gempa bumi (gejor gede) saat meletusnya Gunung Batur tahun 1917, sehingga keadaannya rusak total.

Pemugaran II :
Pemugaran ke II dilakukan pada tahun 1928, hal ini dinyatakan dengan selembar lontar pengeling-eling Karya Ngeteg Linggih pada Hari Kuningan Purnamaning ka 4 (kapat), Icaka 1850 (tahun 1928 M). Semua bangunan yang telah dipugar tersebut, juga mengalami kerusakan total, akibat adanya bencana alam gempa bumi yang terjadi pada tahun 1963, saat meletusnya Gunung Agung, ditambah lagi dengan adanya gempa bumi tanggal 18 Desember 1979.

Pemugaran III :
Kini pura tersebut dipugar kembali pada bentuk aslinya, dengan kontruksi beton bertulang dengan mendapat bantuan dana dari Bapak Presiden R.I (Banpres) sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) dan dipelaspas pada Hari Budha Kliwon Pahang tanggal 4 Oktober 1989. Bangunan ini diresmikan tanggal 7 Oktober 1989 oleh Bapak Gubernur Kepala Daerah Tk. I Bali, Prof.Dr. Ida Bagus Oka, dengan menanda tangani batu prasasti yang bertahun caka : ” Surya Candra Sanga ngider Bhuana. ”

Yang berbeda di pura ini adalah karena; ada padma kembar sibol konsep rwa bineda, disisi barat daya ada patung buda, yang menurut ceritra ada kaitannya dengan buda yang ada di pura Tanjung Sari Padangbay. Kemudian disisi Timur ada tempat penghayat Hanoman. Bahwa pura Silawana Hyang Sari merupakan Penataran AGung Lempuyang. Konon tempat ini merupakan salah satu tempat pesamuan para Dewa .